Catatan sejarah yang
menyatakan perkembangan
penyebaran manusia dan
peradaban melalui anak
keturunan nabi Nuh jelas
merupakan hal berbau alkitabiah.
Alkitab memang menyatakan
‘keberpihakanny a’ terhadap banjir besar di jaman nabi Nuh
yang menghancurkan seluruh
kehidupan di dunia (kecuali
orang-orang yang ada diatas
kapal) , setelah banjir selesai
anak keturunan nabi Nuh menyebar keseluruh penjuru
dunia berkembang menjadi
manusia dan peradaban yang ada
saat ini (Kejadian 10). Bahkan
alkitab juga menyampaikan banjir
tersebut bukan hanya melenyapkan seluruh umat
manusia namun juga binatang,
makanya bahtera nabi Nuh diisi
oleh segala macam binatang, mulai
dari gajah sampai cacing. Ketika
banjir selesai, segala binatang yang ikut jadi penumpang
tersebut menyebar ke seluruh
dunia dan berkembang biak
(Kejadian 8:17). Sejarah
perkembangan manusia dari
terciptanya manusia pertama, Adam dan Hawa berkembang
secara linier dan tidak menyebar,
hanya berkembang kepada kaum
nabi Nuh. Ketika alkitab
menceritakan Adam dan hawa
diusir dari taman Eden yang berlokasi di sekitar Babilonia,
Tuhan mengusir mereka kearah
timur (Kejadian 3:24) lalu Adam
dan Hawa beranak-pinak, disebut
juga waktu itu anak-anak
mereka sudah punyai profesi; Habel menjadi pengembala dan
Kain jadi petani (Kejadian 4:2).
Setelah Kain membunuh Habel
(Kejadian 4:8) umat manusia
berkembang melalui keturunan
Kain (Kejadian 4:17-24) sampai kepada Tubal-kain dan Laama,
namun alkitab tidak
mencantumkan berapa lama
rentang waktu antara Kain
kepada Tubal-Kain dan Lamaa.
Sampai disini perkembangan manusia lewat jalur Kain tidak
diteruskan. Disisi lain, lewat jalur
Adam dan Hawa manusia
berkembang secara linier sampai
kepada nabi Nuh dalam rentang
waktu 1271 tahun (Kejadian 5). Dari kedua jalur tersebut ada 1
nama yang sama yaitu Enokh,
tidak dijelaskan apakah itu
merupakan orang yang sama
atau tidak, kalaupun orangnya
sama, maka jalur keturunan Adam dan Kain ‘bertemu untuk kembali
berpisah’ lewat Enokh.. Ketika Tuhan akan menimpakan
banjir besar terhadap manusia,
alasan yang dikemukakan adalah
karena Tuhan menyesal telah
menciptakan manusia mengingat
kejahatan yang dilakukan manusia ketika itu, dan akan
menghapus mereka semua
(Kejadian 6:5-7) , kecuali nabi Nuh
(Kejadian 6:8). Setelah semuanya
musnah, Tuhan lalu ‘berfirman
dalam hati’ untuk tidak lagi mengutuk manusia dan akan
menjaga bumi (Kejadian 8:21-22).
Alkitab secara jelas menyatakan
penyebaran umat manusia dimulai
dari anak keturunan nabi Nuh
(Kejadian 9:19, 10:32). Disini muncul pertanyaan : bagaimana
nasibnya dengan anak keturunan
Kain..?? apakah mereka menyebar
juga ke seluruh dunia..?? apakah
mereka ikut musnah dalam banjir
besar..??. Pernyataan alkitab soal banjir besar yang meluluh-
lantakk an semua makhluk di bumi dalam pernyataan yang jelas
tentang manusia yang
berkembang melalui anak-anak
nabi Nuh memberikan kesan
bahwa semua anak keturunan
dari Kain ikut musnah dalam banjir besar. Namun kita tidak bisa
mengabaikan fakta tentang
adanya temuan arkeologis, bahwa
ternyata diluar kisah banjir nabi
Nuh tersebut pada kurun waktu
yang sama, ditemukan adanya peradaban lain yang masih
berjalan. Peradaban Mesir dan
Mesopotamia sudah dimulai sejak
jaman Neolotikum (8000 – 7000
SM) dan masih terus berlanjut
sampai pada masa setelah banjir besar (thn 4000 SM). Orientalis
Morris Buckey berdasarkan data
dan temuan arkeologis modern
juga menyatakan ada peradaban-
perad aban di berbagai belahan dunia yang nyatanya tetap eksis
hingga generasi-genera si berikutnya. Sezaman dengan
banjir nabi Nuh, sejarah Mesir
kuno tengah menapak fase
pertengahan pertama sebelum
dinasti kesebelas, sementara
Babilonia dikuasai oleh dinasti Ur II. Peradaban kuno tetap lestari dan
tidak mengalami keterputusan
sejarah ataupun binasa total
seperti yang dikatakan kitab
Kejadian tersebut. http:// id.wikipedia.org /wiki/ Timur_Tengah_Kun o Di Indonesia sendiri juga
ditemukan artefak peralatan
pertanian dan berburu pada
jaman yang sama, jauh sebelum
anak keturunan nabi Nuh melalui
rumpun bangsa Mongol beremigrasi ke wilayah Nusantara.
Sekalipun saya tidak setuju
dengan perkembangan manusia
menurut teori evolusi Darwin,
namun fakta-fakta tersebut
tidak bisa kita abaikan hanya karena ingin menegakkan teori
yang sangat dipengaruhi alkitab
tersebut. Sekarang kita bertanya,
bagaimana Al-Qur’an memberikan
‘sinyal-sinyal’ berupa informasi tentang perkembangan
peradaban umat manusia ini..??
Al-Qur’an juga memuat cerita
tentang banjir besar nabi Nuh,
namun tidak menyatakan
keberpihakannya kepada banjir yang memusnahkan seluruh
peradaban, bahkan memusnahkan
seluruh binatang-binata ng. Kisah nabi Nuh disinggung Al-Qur’an
dalam 11 rangkaian ayat, yaitu
QS [7:59-64], QS [10:71-74], QS
[11:25-48], QS [23:23-30], QS
[25:37], QS [26:105-122], QS
[29:14-15], QS [37:78-82], QS [54 :11-16], QS [69:11], QS
[71 :5-28]. Al-Qur’an juga
menggambarkan bahwa banjir
yang terjadi berskala besar
sehingga dikatakan tingginya
sampai ke gunung : wahiya tajrii bihim fii mawjin
kaaljibaali
[11:42] Dan bahtera itu berlayar
membawa mereka dalam
gelombang laksana gunung. qaala saaawii ilaa jabalin
ya’shimunii mina almaa-i
[11:43] Anaknya menjawab: “Aku
akan mencari perlindungan ke
gunung yang dapat memeliharaku
dari air bah!” walaqad arsalnaa nuuhan ilaa
qawmihi falabitsa fiihim alfa
sanatin illaa khamsiina ‘aaman
fa-akhadzahumu alththhuufaanu
wahum zhaalimuuna
[29:14] Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka ia tinggal di
antara mereka seribu tahun
kurang lima puluh tahun. Maka
mereka ditimpa banjir besar, dan
mereka adalah orang-orang yang zalim. Sekarang mari kita simak
pengertian kata ‘jabaal’ dalam
Al-Qur’an. Kata
’jabaal’ (bentuk tunggal) atau
‘jibaal’ (bentuk jamak), kata ini
terulang 41 kali dalam Al-Qur’an, 39 kali berarti gunung dalam
bentuk tunggal atau jamak, 2 kali
disebut dengan arti ‘sekelompok
orang banyak’ karena
banyaknya seolah-olah
bentuknya ‘menggunung’. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa
kata ‘jabaal’ tidak memberikan
batasan berapa tinggi
gunungnya, beda dengan bahasa
Indonesia, kita biasanya
membedakan antara gunung dengan bukit yang tingginya lebih
rendah. Anda bisa menyebut
‘Jabal Everest’ ataupun ‘Jabal
Sentul’. Jadi ketika Al-Qur’an
mengibaratkan banjir tersebut
‘kaaljibaali’ – laksana gunung, tidak disebutkan berapa tinggi
banjirnya, bisa setinggi gunung
Everest, bisa juga setinggi bukit
Sentul. Demikian pula ketika anak
nabi Nuh menyatakan akan
menyelamatkan diri ke gunung, tidak dijelaskan juga apakah ke
gunung Himalaya atau ke gunung
Uhud. Demikian pula QS 29:14
disebut ‘banjir besar’, padahal
dalam bahasa aslinya
‘alththhuufaanu ’ – angin topan/badai. Jadi semua penggambaran Al-
Qur’an soal banjir besar dijaman
Nuh, tidak mengarah kepada
banjir yang menenggelamkan
seluruh dunia. Al-Qur’an
menyerahkan semuanya kepada temuan ilmu pengetahuan dan
arkheologi… Dan soal binatang yang naik ke
bahtera, terdapat pada 2
kelompok ayat : hattaa idzaa jaa-a amrunaa
wafaara alttannuuru qulnaa ihmil
fiihaa min kullin zawjayni itsnayni
wa-ahlaka illaa man sabaqa
‘alayhi alqawlu waman aamana
wamaa aamana ma’ahu illaa qaliilun
[11:40] Hingga apabila perintah
Kami datang dan dapur telah
memancarkan air, Kami berfirman:
“Muatkanlah ke dalam bahtera
itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina),
dan keluargamu kecuali orang
yang telah terdahulu ketetapan
terhadapnya dan (muatkan pula)
orang-orang yang beriman.” Dan
tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. fa-awhaynaa ilayhi ani ishna’i
alfulka bi-a’yuninaa wawahyinaa
fa-idzaa jaa-a amrunaa wafaara
alttannuuru fausluk fiihaa min
kullin zawjayni itsnayni wa-ahlaka
[23:27] Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di
bawah penilikan dan petunjuk
Kami, maka apabila perintah Kami
telah datang dan tanur telah
memancarkan air, maka
masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis),
dan (juga) keluargamu, ‘min kullin zawjayni’ artinya
‘dari masing-masingny a sepasang’, namun terjemahan
Al-Qur’an 11:40 kembali
melakukan interpolasi ayat
menjadi ‘masing-masing binatang
sepasang’. Quraish Shihab
terlihat membenarkan soal binatang ini, sebaliknya Sayyid
Qutb, mengatakan bahwa
menafsirkan kata ‘sepasang’
sebagai binatang adalah berbau
Israilliyat, namun beliau tidak
memberikan alternatifnya dan menganggap sebagai hal yang
ghaib (Tafsir Fizhilalil Qur’an jilid
6). Temuan arkeologis
menyatakan tidak ada
pergerakan penyebaran binatang
mulai dari gajah sampai tikus berasal dari satu tempat, maka
hal ini juga tidak bisa kita abaikan
untuk membenarkan penafsiran
yang dipengaruhi alkitab
(Kejadian 8:17) tersebut. Al-Qur’an juga tidak menjelaskan
soal adanya penyebaran manusia
dan peradaban setelah banjir
besar tersebut, ayat yang
‘dekat’ dengan hal tersebut
berbunyi : waja’alnaa dzurriyyatahu humu
albaaqiina
[37:77] Dan Kami jadikan anak
cucunya orang-orang yang
melanjutkan keturunan. Ketika pikiran kita sudah dimasuki
cerita alkitab soal nabi Nuh
(Kejadian 10), maka ayat
tersebut akan mengarahkan
pikiran kita bahwa umat manusia
memang tersebar bermula dari anak keturunan nabi Nuh,
Sebenarnya ayat tersebut adalah
ayat yang bersifat netral, karena
kalau kita merujuk kepada ayat
Al-Qur’an yang lain : laqad arsalnaa nuuhan ilaa
qawmihi
[7:59] Sesungguhnya Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya.. alam ya/tihim nabau alladziina min
qablihim qawmi nuuhin wa’aadin
watsamuuda waqawmi ibraahiima
wa-ash-haabi madyana waalmu/
tafikaati
[9:70] Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang
orang-orang yang sebelum
mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad,
Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk
Madyan dan negeri-negeri yang
telah musnah? Ayat ini menjelaskan kesejajaran
kaum nabi Nuh dengan kaum
lainnya, sehingga QS [37:77] bisa
juga diartikan maksud
‘melanjutkan keturunan’ adalah
dalam lingkup kaum nabi Nuh sendiri, bukan menyatakan
penyebarannya keseluruh
penjuru dunia. Namun sekali lagi
Al-Qur’an ‘bersikap netral’
dalam hal ini. Sangat menarik memang, ketika
Al-Qur’an menyebut suatu nama
bukit tempat kapal nabi Nuh
terdampar, ini kemungkinan
sebagai ‘hint’ untuk penelitian
yang akan dilakukan manusia setelah itu. waqiila yaa ardhu ibla’ii maa-aki
wayaa samaau aqli’ii waghiidha
almaau waqudhiya al-amru
waistawat ‘alaa aljuudiyyi waqiila
bu’dan lilqawmi alzhzhaalimiina
[11:44] Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit
(hujan) berhentilah,” dan airpun
disurutkan, perintahpun
diselesaikan dan bahtera itupun
berlabuh di atas bukit Judi, dan
dikatakan: “Binasalah orang- orang yang zalim .” Dimana lokasi bukit Judi, banyak
perbedaan pendapat, baik dari
para ulama maupun temuan
arkheologi. Ada pendapat yang
menunjukkan suatu gunung di
wilayah Kurdi, atau tepatnya dibagian selatan Armenia, ada
pendapat lain dari Wyatt
Archeological Research, bukit
tersebut terletak di wilayah
Turkistan Iklim Butan, timur laut
pulau yang oleh orang-orang Arab disebut sebagai Jazirah Ibnu
Umar (Tafsir al-Mishbah).
Sedangkan alkitab menyebutnya
terdampar di gunung Ararat, ini
diduga berada di Turki. Namun
temuan arkeologis tidak mengarah kepada banjir yang
menenggelamkan seluruh dunia,
apakah puncak Himalaya ikut
tenggelam..?? apakah banjirnya
sampai ke Jawa ketika itu..??
yang ada justru temuan arkeologi bahwa peradaban di Mesir dan
Babilonia pada masa yang sama
masih tetap berjalan dan tidak
musnah atau terputus. Kunci untuk mengetahui
penyebaran peradaban ini
sebenarnya ada pada sumber-
sumber yang menjelaskan sejarah
pada kurun waktu dari nabi Adam
sebagai manusia pertama kepada nabi Nuh. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa jangka waktu
antara nabi Adam dengan nabi
Nuh sangatlah panjang melingkupi
rentang ratusan ribu bahkan
jutaan tahun, sehingga ketika jaman banjir besar nabi Nuh,
umat manusia sudah tersebar
keseluruh penjuru dunia, menjadi
kelompok-kelomp ok primitif, lalu beradaptasi dengan alam
lingkungannya. Ketika banjir
besar nabi Nuh selesai dan anak
keturunannya menyebar ke
seluruh dunia. Namun sekali lagi,
ini bukanlah kesimpulan yang diambil dari Al-Qur’an, kebenaran
teori ini mungkin akan bisa
diungkapkan kemudian setelah
makin banyaknya ditemukan
artefak dan peninggal kuno yang
akan membenarkan, ataupun mementahkannya. Al-Qur’an sendiri tidak
menjelaskan soal kurun waktu ini.
Kisah nabi Nuh dan beberapa
‘sinyal’ sejarahnya merupakan
kisah yang pertama dari umat
manusia yang diceritakan Al- Qur’an secara lengkap. Memang
terdapat 7 kelompok ayat yang
menceritakan tentang kisah nabi
Adam, QS [2:30-38, QS [7:11-30],
QS[15:28-43], QS[17:61- 65], QS
[18:50], QS[20:115-123], QS [38:71-85], namun sangat sedikit
informasi tentang bagaimana
kehidupan nabi Adam setelah
diturunkan kedunia. Pengisahan
tentang Adam dalam Al-Qur’an
terfokus kepada : (1) pembangkangan Iblis dan ikrarnya
untuk menjerumuskan manusia
serta (2) informasi tentang
penciptaan nabi Adam. Terdapat
juga ayat lain tentang kehidupan
manusia sebelum nabi Nuh, yaitu kisah tentang anak-anak nabi
Adam QS[5:27-31] namun itupun
tidak menginformasika n tentang lokasi ataupun penggambaran
lingkungan, tidak seperti
pengisahan nabi Nuh dan nabi-
nabi lainnya. Al-Qur’an
kelihatannya ‘membuka diri’
agar manusia melakukan penelitian sendiri tentang sejarah
peradaban sebelum jaman nabi
Nuh. Terdapat satu ‘sinyal’ lagi yang
diberikan Al-Qur’an tentang
masa antara nabi Adam dam nabi
Nuh ini, yaitu penyebutan adanya
seorang nabi bernama Idris : waudzkur fii alkitaabi idriisa
innahu kaana shiddiiqan
nabiyyaan warafa’naahu
makaanan ‘aliyyaan ulaa-ika
alladziina an’ama allaahu
‘alayhim mina alnnabiyyiina min dzurriyyati aadama wamimman
hamalnaa ma’a nuuhin wamin
dzurriyyati ibraahiima wa-israa-
iila
[19:56] Dan ceritakanlah (hai
Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di
dalam Al Quraan. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat
membenarkan dan seorang nabi.
[19:57] Dan Kami telah
mengangkatnya ke martabat yang tinggi. [19:58] Mereka itu
adalah orang-orang yang telah
diberi ni’mat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam,
dan dari orang-orang yang Kami
angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, wa-ismaa’iila wa-idriisa wadzaa
alkifli kullun mina alshshaabiriina
wa-adkhalnaahum fii rahmatinaa innahum mina alshshaalihiina
[21:85] Dan (ingatlah kisah) Ismail,
Idris dan Dzulkifli. Semua mereka
termasuk orang-orang yang
sabar. [21:86] Kami telah
memasukkan mereka kedalam rahmat Kami. Sesungguhnya
mereka termasuk orang-orang
yang saleh. Nabi Idris adalah nabi yang hidup
sebelum jaman nabi Nuh, cerita
alkitab mempengaruhi penafsiran
bahwa Idris adalah Enokh
(Kejadian 5). Sayyid Qutb
menafsirkannya dengan nama salah satu tokoh Mesir kuno,
yaitu Uzuris. Satu tokoh yang
sama penggambarannya dengan Enokh, yang naik kelangit dan
hidup disana, namun Sayyid Qutb
tidak memastikan hal ini. Cerita
Israilliyat ini kelihatannya
mempengaruhi sementara ahli
tafsir yang mengatakan bunyi QS 19:57 diartikan secara harfiah.
Sumber-sumber Islam sendiri tidak
banyak memberikan penjelasan
tentang nabi Idris ini, ada satu
hadist riwayat ath-Thabarani
melalui Ummu Salamah yang menyatakan nabi Idris berteman
dengan malaikat maut dan
memasuki neraka dan surga
ketika masih hidup. Namun perawi
hadist ini terdapat nama Ibrahim
Ibn Abdullah al-Mashishi, yang dikategorikan oleh para peneliti
hadist sebagai pembohong dan
pendusta. Sebenarnya kita bisa bertanya-
tanya : Apa maksud Al-Qur’an
yang menyatakan bahwa nabi
Idris adalah ‘seorang yang
sangat membenarkan’..? ? Ketika sahabat Rasulullah, Abu
Bakar dijuluki ‘siddiq’ – orang
yang membenarkan, objeknya
jelas yaitu Rasulullah sendiri, yaitu
Abu bakar adalah sahabat yang
selalu membenarkan apapun pernyataan yang dikeluarkan
Rasulullah, termasuk cerita nabi
tentang perjalanan Isra’Mi’raj-
nya , ketika banyak orang, bahkan umat Islam lain yang
meragukannya, Abu Bakar tanpa
‘pikir panjang’
membenarkannya. Mengapa Al- Qur’an memberikan penekanan
sifat ini kepada nabi Idris..?? apa
atau siapa yang telah dibenarkan
olehnya..?? Ini mungkin sinyal
yang diberikan Al-Qur’an untuk
mencari hubungan adanya cerita nabi Nuh dengan fakta arkeologis
tentang kelompok manusia yang
sudah menyebar ketika itu…
wallahualam
0 komentar:
Posting Komentar