ADIN SHAYFUDDIN AZ ZUHRI

ASSALAMU ALAIKUM WAROKHMATULLOHI WABAROKATUH.

This is default featured post 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured post 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

AKU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLOH swt

Dan aku bersaksi bahwa nabi MUHAMMAD utusan ALLOH swt

AKU BERSAKSI BAHWA TIADA TUHAN SELAIN ALLOH swt

Dan aku bersaksi bahwa nabi MUHAMMAD utusan ALLOH swt

SAMPAIKAN PADA MEREKA WALAU HANYA SATU AYAT

“Dan sungguh, benar-benar telah kami mudahkan Al-Qur’an untuk dipelajari, maka adakah yang mau mempelajarinya?” (Q.S. Al-Qomar ayat 17, 22, 32 dan 40)

ORANG YANG MULIA DI HADAPAN ALLOH , adalah ORANG YG BERTAQWA

ASSALAMU ALAIKUM WAROKHMATULLOHI WABAROKATUH.

Sabtu, 22 Oktober 2016

Asal usul Garam dari Nabi Ibrahim

Kisah di bawahi ini memuat dua judul :
1. Nabi Ibrahim di sebut bapak para Tamu
2. Asal Mula Garam (versi islam)
3. Garam sebagai suguhan Nabi Ibrahim As

Sumber : Qoomi' Thughyan , Asy-Syu'bah 68 " Ikroomu Al-Dhoef " Hal : 22

وعن أبي الدرداء عن النبي صلى الله عليه وسلم: إذا أكل أحدكم مع الضيف فليلقمه بيده فإذا فعل ذلك كتب الله له عمل سنة صيام نهارها وقيام ليلها
وكان سيدنا إبراهيم عليه السلام إذا أراد الأكل يمشي الميل والميلين في طلب الضيف ليأكل معه وكان يكنى أبا الضيفان وأراد أن يجعل لأمة محمد صلى الله عليه وسلم ضيافة إلى يوم القيامة فقال الله له إنك لا تقدر على ذلك فقال إلهي أنت تعلم بحالي وقادر علي إجابة سؤالي فاستجاب الله له فأمر جبريل أن يأتيه بكف من كافور الجنة ويصعد به إلى جبل أبي قبيس وينفخه في الجو ففعل ذلك فانتشر في الأرض فكل موضع وقع فيه شيئ منه صار ملحا إلى يوم القيامة فجميع الملح الذي في الأرض من ضيافة إبراهيم عليه السلام. كذا ذكره أحمد السحيمي وأحمد ابن العماد
Dari Abi Darda Nabi bersabda :
Ketika seseorang makan bersama tamu, maka pungutlah makanan dengan tangan. Sebab perbuatan tersebut Allah SWT akan mencatatnya sebagai amalan berpuasa dan Qiamulail dalam satu tahun

NAbi Ibrohim ketika akan makan,beliau akan berjalan hingga satu-dua mil untuk mencari seseorang (tamu) dan ia ajak ke rumah beliau untuk makan bersama.Karena hal ini,Nabi Ibrohim dikenal sebagai "Bapak dari Tamu"
Pada suatu ketika Nabi Ibrohim AS ingin sekali memberikan kenang-kenangan jamuan buat ummat Nabi Muhammad SAW hingga akhir zaman
Maka kemudian Allah berfirman : kamu tidak akan mampu atas semua itu wahai Ibrohim
Kemudian Nabi Ibrohim AS memohon pada allah dalam doanya : Wahai Tuhanku hanya Engkaulah Dzat yang maha tahu dengan segala tingkahku dan hanya Engkaulah yang mampu mengabulkan doaku
Maka Allah SWT mengabulkan permohonan Nabi Ibrohim AS, dan memerintah malaikat Jibril AS untuk membawakan segenggam KAPUR dari syurga, kemudian malaikat Jibril naik ke puncak gunung Abi Qubais kemudian meniupkan kapur tersebut ke angkasa maka bertebaranlah kapur tersebut di angkasa hingga jatuh ke pelosok bumi, yang mana tiap-tiap tempat yang kejatuhan kapur syurga tersebut jadi GARAM sepanjang masa.

= Inilah salah satu jamuan kenang-kenangan dari Nabi Ibrohim AS untuk umat Nabi Muhammad SAW ila yaumil qiyamah. [sangat bermanfaat]

= Diantara pelosok bumi yang kejatuhan KAPUR tersebut adalah LAUTAN, itu mengapa air laut menjadi asin.

Wallohu A'lam

(فائدة: في أصل وجود الملح)
قيل إن إبراهيم عليه السلام أراد أن يجعل لأمة محمد ص. ضيافة إلى يوم القيامة فقال الله تعالى: إنك لا تقدر على ذلك, فقال:إلهي أنت أعلم بحالي و قادر على إجابة سؤالي, فاستجاب له فأمر جبريل أن يأتي إليه بكف من كافور الجنة و يصعد به إلى جبل أبي قبيس و ينفخه في الجو, ففعل ذلك فانتشر في الأرض, فكل موضع وقع فيه منه شيء صار ملحا إلى يوم القيامة, فجميع الملح في الأرض من ضيافة إبراهيم.

(faidah:asal-usul adanya garam)
Dikatakan, bahwa NabiAllah Ibrahim as. menginginkan membuat jamuan untuk umat Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam hingga hari kiamat, maka Allah berfirman:'' sesungguhnya engkau tidak mampu melakukan itu'' lalu Nabi Ibrahim berkata:'' Ya Tuhanku, Engkau maha tahu dengan keadaanku dan maha kuasa mengabulkan do'aku'' maka Allah swt. mengabulkan do'a Nabi Ibrahim kemudian Allah memerintahkan Jibril as. membawakan kepadanya segenggam dari kapur surga, dan Naik dengan segenggam kapur tersebut ke gunung abi qubais kemudian beliau meniupkannya ke udara, maka menyebarlah kapur tersebut di muka bumi dan setiap tempat yang kejatuhan padanya sesuatu dari kapur itu menjadi asin hingga hari kiamat, maka seluruh garam di muka bumi adalah dari jamuan Nabi Ibrahim as.

النوادر:١٣٥
Ctatan :
فليلقمه بيده = Memungut atau menyuap makanan ke mulut dengan tangan (tidak memakai sendok)    

Perkembangan manusia setelah Banjir Topan NABI NUH

Catatan sejarah yang
menyatakan perkembangan
penyebaran manusia dan
peradaban melalui anak
keturunan nabi Nuh jelas
merupakan hal berbau alkitabiah.

Alkitab memang menyatakan
‘keberpihakanny a’ terhadap banjir besar di jaman nabi Nuh
yang menghancurkan seluruh
kehidupan di dunia (kecuali
orang-orang yang ada diatas
kapal) , setelah banjir selesai
anak keturunan nabi Nuh menyebar keseluruh penjuru
dunia berkembang menjadi
manusia dan peradaban yang ada
saat ini (Kejadian 10). Bahkan
alkitab juga menyampaikan banjir
tersebut bukan hanya melenyapkan seluruh umat
manusia namun juga binatang,
makanya bahtera nabi Nuh diisi
oleh segala macam binatang, mulai
dari gajah sampai cacing. Ketika
banjir selesai, segala binatang yang ikut jadi penumpang
tersebut menyebar ke seluruh
dunia dan berkembang biak
(Kejadian 8:17). Sejarah
perkembangan manusia dari
terciptanya manusia pertama, Adam dan Hawa berkembang
secara linier dan tidak menyebar,
hanya berkembang kepada kaum
nabi Nuh. Ketika alkitab
menceritakan Adam dan hawa
diusir dari taman Eden yang berlokasi di sekitar Babilonia,
Tuhan mengusir mereka kearah
timur (Kejadian 3:24) lalu Adam
dan Hawa beranak-pinak, disebut
juga waktu itu anak-anak
mereka sudah punyai profesi; Habel menjadi pengembala dan
Kain jadi petani (Kejadian 4:2).
Setelah Kain membunuh Habel
(Kejadian 4:8) umat manusia
berkembang melalui keturunan
Kain (Kejadian 4:17-24) sampai kepada Tubal-kain dan Laama,
namun alkitab tidak
mencantumkan berapa lama
rentang waktu antara Kain
kepada Tubal-Kain dan Lamaa.
Sampai disini perkembangan manusia lewat jalur Kain tidak
diteruskan. Disisi lain, lewat jalur
Adam dan Hawa manusia
berkembang secara linier sampai
kepada nabi Nuh dalam rentang
waktu 1271 tahun (Kejadian 5). Dari kedua jalur tersebut ada 1
nama yang sama yaitu Enokh,
tidak dijelaskan apakah itu
merupakan orang yang sama
atau tidak, kalaupun orangnya
sama, maka jalur keturunan Adam dan Kain ‘bertemu untuk kembali
berpisah’ lewat Enokh.. Ketika Tuhan akan menimpakan
banjir besar terhadap manusia,
alasan yang dikemukakan adalah
karena Tuhan menyesal telah
menciptakan manusia mengingat
kejahatan yang dilakukan manusia ketika itu, dan akan
menghapus mereka semua
(Kejadian 6:5-7) , kecuali nabi Nuh
(Kejadian 6:8). Setelah semuanya
musnah, Tuhan lalu ‘berfirman
dalam hati’ untuk tidak lagi mengutuk manusia dan akan
menjaga bumi (Kejadian 8:21-22).
Alkitab secara jelas menyatakan
penyebaran umat manusia dimulai
dari anak keturunan nabi Nuh
(Kejadian 9:19, 10:32). Disini muncul pertanyaan : bagaimana
nasibnya dengan anak keturunan
Kain..?? apakah mereka menyebar
juga ke seluruh dunia..?? apakah
mereka ikut musnah dalam banjir
besar..??. Pernyataan alkitab soal banjir besar yang meluluh-
lantakk an semua makhluk di bumi dalam pernyataan yang jelas
tentang manusia yang
berkembang melalui anak-anak
nabi Nuh memberikan kesan
bahwa semua anak keturunan
dari Kain ikut musnah dalam banjir besar. Namun kita tidak bisa
mengabaikan fakta tentang
adanya temuan arkeologis, bahwa
ternyata diluar kisah banjir nabi
Nuh tersebut pada kurun waktu
yang sama, ditemukan adanya peradaban lain yang masih
berjalan. Peradaban Mesir dan
Mesopotamia sudah dimulai sejak
jaman Neolotikum (8000 – 7000
SM) dan masih terus berlanjut
sampai pada masa setelah banjir besar (thn 4000 SM). Orientalis
Morris Buckey berdasarkan data
dan temuan arkeologis modern
juga menyatakan ada peradaban-
perad aban di berbagai belahan dunia yang nyatanya tetap eksis
hingga generasi-genera si berikutnya. Sezaman dengan
banjir nabi Nuh, sejarah Mesir
kuno tengah menapak fase
pertengahan pertama sebelum
dinasti kesebelas, sementara
Babilonia dikuasai oleh dinasti Ur II. Peradaban kuno tetap lestari dan
tidak mengalami keterputusan
sejarah ataupun binasa total
seperti yang dikatakan kitab
Kejadian tersebut. http:// id.wikipedia.org /wiki/ Timur_Tengah_Kun o Di Indonesia sendiri juga
ditemukan artefak peralatan
pertanian dan berburu pada
jaman yang sama, jauh sebelum
anak keturunan nabi Nuh melalui
rumpun bangsa Mongol beremigrasi ke wilayah Nusantara.
Sekalipun saya tidak setuju
dengan perkembangan manusia
menurut teori evolusi Darwin,
namun fakta-fakta tersebut
tidak bisa kita abaikan hanya karena ingin menegakkan teori
yang sangat dipengaruhi alkitab
tersebut. Sekarang kita bertanya,
bagaimana Al-Qur’an memberikan
‘sinyal-sinyal’ berupa informasi tentang perkembangan
peradaban umat manusia ini..??

Al-Qur’an juga memuat cerita
tentang banjir besar nabi Nuh,
namun tidak menyatakan
keberpihakannya kepada banjir yang memusnahkan seluruh
peradaban, bahkan memusnahkan
seluruh binatang-binata ng. Kisah nabi Nuh disinggung Al-Qur’an
dalam 11 rangkaian ayat, yaitu
QS [7:59-64], QS [10:71-74], QS
[11:25-48], QS [23:23-30], QS
[25:37], QS [26:105-122], QS
[29:14-15], QS [37:78-82], QS [54 :11-16], QS [69:11], QS
[71 :5-28]. Al-Qur’an juga
menggambarkan bahwa banjir
yang terjadi berskala besar
sehingga dikatakan tingginya
sampai ke gunung : wahiya tajrii bihim fii mawjin
kaaljibaali
[11:42] Dan bahtera itu berlayar
membawa mereka dalam
gelombang laksana gunung. qaala saaawii ilaa jabalin
ya’shimunii mina almaa-i
[11:43] Anaknya menjawab: “Aku
akan mencari perlindungan ke
gunung yang dapat memeliharaku
dari air bah!” walaqad arsalnaa nuuhan ilaa
qawmihi falabitsa fiihim alfa
sanatin illaa khamsiina ‘aaman
fa-akhadzahumu alththhuufaanu
wahum zhaalimuuna
[29:14] Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada
kaumnya, maka ia tinggal di
antara mereka seribu tahun
kurang lima puluh tahun. Maka
mereka ditimpa banjir besar, dan
mereka adalah orang-orang yang zalim. Sekarang mari kita simak
pengertian kata ‘jabaal’ dalam
Al-Qur’an. Kata
’jabaal’ (bentuk tunggal) atau
‘jibaal’ (bentuk jamak), kata ini
terulang 41 kali dalam Al-Qur’an, 39 kali berarti gunung dalam
bentuk tunggal atau jamak, 2 kali
disebut dengan arti ‘sekelompok
orang banyak’ karena
banyaknya seolah-olah
bentuknya ‘menggunung’. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa
kata ‘jabaal’ tidak memberikan
batasan berapa tinggi
gunungnya, beda dengan bahasa
Indonesia, kita biasanya
membedakan antara gunung dengan bukit yang tingginya lebih
rendah. Anda bisa menyebut
‘Jabal Everest’ ataupun ‘Jabal
Sentul’. Jadi ketika Al-Qur’an
mengibaratkan banjir tersebut
‘kaaljibaali’ – laksana gunung, tidak disebutkan berapa tinggi
banjirnya, bisa setinggi gunung
Everest, bisa juga setinggi bukit
Sentul. Demikian pula ketika anak
nabi Nuh menyatakan akan
menyelamatkan diri ke gunung, tidak dijelaskan juga apakah ke
gunung Himalaya atau ke gunung
Uhud. Demikian pula QS 29:14
disebut ‘banjir besar’, padahal
dalam bahasa aslinya
‘alththhuufaanu ’ – angin topan/badai. Jadi semua penggambaran Al-
Qur’an soal banjir besar dijaman
Nuh, tidak mengarah kepada
banjir yang menenggelamkan
seluruh dunia. Al-Qur’an
menyerahkan semuanya kepada temuan ilmu pengetahuan dan
arkheologi… Dan soal binatang yang naik ke
bahtera, terdapat pada 2
kelompok ayat : hattaa idzaa jaa-a amrunaa
wafaara alttannuuru qulnaa ihmil
fiihaa min kullin zawjayni itsnayni
wa-ahlaka illaa man sabaqa
‘alayhi alqawlu waman aamana
wamaa aamana ma’ahu illaa qaliilun
[11:40] Hingga apabila perintah
Kami datang dan dapur telah
memancarkan air, Kami berfirman:
“Muatkanlah ke dalam bahtera
itu dari masing-masing binatang sepasang (jantan dan betina),
dan keluargamu kecuali orang
yang telah terdahulu ketetapan
terhadapnya dan (muatkan pula)
orang-orang yang beriman.” Dan
tidak beriman bersama dengan Nuh itu kecuali sedikit. fa-awhaynaa ilayhi ani ishna’i
alfulka bi-a’yuninaa wawahyinaa
fa-idzaa jaa-a amrunaa wafaara
alttannuuru fausluk fiihaa min
kullin zawjayni itsnayni wa-ahlaka
[23:27] Lalu Kami wahyukan kepadanya: “Buatlah bahtera di
bawah penilikan dan petunjuk
Kami, maka apabila perintah Kami
telah datang dan tanur telah
memancarkan air, maka
masukkanlah ke dalam bahtera itu sepasang dari tiap-tiap (jenis),
dan (juga) keluargamu, ‘min kullin zawjayni’ artinya
‘dari masing-masingny a sepasang’, namun terjemahan
Al-Qur’an 11:40 kembali
melakukan interpolasi ayat
menjadi ‘masing-masing binatang
sepasang’. Quraish Shihab
terlihat membenarkan soal binatang ini, sebaliknya Sayyid
Qutb, mengatakan bahwa
menafsirkan kata ‘sepasang’
sebagai binatang adalah berbau
Israilliyat, namun beliau tidak
memberikan alternatifnya dan menganggap sebagai hal yang
ghaib (Tafsir Fizhilalil Qur’an jilid
6). Temuan arkeologis
menyatakan tidak ada
pergerakan penyebaran binatang
mulai dari gajah sampai tikus berasal dari satu tempat, maka
hal ini juga tidak bisa kita abaikan
untuk membenarkan penafsiran
yang dipengaruhi alkitab
(Kejadian 8:17) tersebut. Al-Qur’an juga tidak menjelaskan
soal adanya penyebaran manusia
dan peradaban setelah banjir
besar tersebut, ayat yang
‘dekat’ dengan hal tersebut
berbunyi : waja’alnaa dzurriyyatahu humu
albaaqiina
[37:77] Dan Kami jadikan anak
cucunya orang-orang yang
melanjutkan keturunan. Ketika pikiran kita sudah dimasuki
cerita alkitab soal nabi Nuh
(Kejadian 10), maka ayat
tersebut akan mengarahkan
pikiran kita bahwa umat manusia
memang tersebar bermula dari anak keturunan nabi Nuh,
Sebenarnya ayat tersebut adalah
ayat yang bersifat netral, karena
kalau kita merujuk kepada ayat
Al-Qur’an yang lain : laqad arsalnaa nuuhan ilaa
qawmihi
[7:59] Sesungguhnya Kami telah
mengutus Nuh kepada kaumnya.. alam ya/tihim nabau alladziina min
qablihim qawmi nuuhin wa’aadin
watsamuuda waqawmi ibraahiima
wa-ash-haabi madyana waalmu/
tafikaati
[9:70] Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang
orang-orang yang sebelum
mereka, (yaitu) kaum Nuh, ‘Aad,
Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk
Madyan dan negeri-negeri yang
telah musnah? Ayat ini menjelaskan kesejajaran
kaum nabi Nuh dengan kaum
lainnya, sehingga QS [37:77] bisa
juga diartikan maksud
‘melanjutkan keturunan’ adalah
dalam lingkup kaum nabi Nuh sendiri, bukan menyatakan
penyebarannya keseluruh
penjuru dunia. Namun sekali lagi
Al-Qur’an ‘bersikap netral’
dalam hal ini. Sangat menarik memang, ketika
Al-Qur’an menyebut suatu nama
bukit tempat kapal nabi Nuh
terdampar, ini kemungkinan
sebagai ‘hint’ untuk penelitian
yang akan dilakukan manusia setelah itu. waqiila yaa ardhu ibla’ii maa-aki
wayaa samaau aqli’ii waghiidha
almaau waqudhiya al-amru
waistawat ‘alaa aljuudiyyi waqiila
bu’dan lilqawmi alzhzhaalimiina
[11:44] Dan difirmankan: “Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit
(hujan) berhentilah,” dan airpun
disurutkan, perintahpun
diselesaikan dan bahtera itupun
berlabuh di atas bukit Judi, dan
dikatakan: “Binasalah orang- orang yang zalim .” Dimana lokasi bukit Judi, banyak
perbedaan pendapat, baik dari
para ulama maupun temuan
arkheologi. Ada pendapat yang
menunjukkan suatu gunung di
wilayah Kurdi, atau tepatnya dibagian selatan Armenia, ada
pendapat lain dari Wyatt
Archeological Research, bukit
tersebut terletak di wilayah
Turkistan Iklim Butan, timur laut
pulau yang oleh orang-orang Arab disebut sebagai Jazirah Ibnu
Umar (Tafsir al-Mishbah).
Sedangkan alkitab menyebutnya
terdampar di gunung Ararat, ini
diduga berada di Turki. Namun
temuan arkeologis tidak mengarah kepada banjir yang
menenggelamkan seluruh dunia,
apakah puncak Himalaya ikut
tenggelam..?? apakah banjirnya
sampai ke Jawa ketika itu..??
yang ada justru temuan arkeologi bahwa peradaban di Mesir dan
Babilonia pada masa yang sama
masih tetap berjalan dan tidak
musnah atau terputus. Kunci untuk mengetahui
penyebaran peradaban ini
sebenarnya ada pada sumber-
sumber yang menjelaskan sejarah
pada kurun waktu dari nabi Adam
sebagai manusia pertama kepada nabi Nuh. Beberapa pendapat
menyatakan bahwa jangka waktu
antara nabi Adam dengan nabi
Nuh sangatlah panjang melingkupi
rentang ratusan ribu bahkan
jutaan tahun, sehingga ketika jaman banjir besar nabi Nuh,
umat manusia sudah tersebar
keseluruh penjuru dunia, menjadi
kelompok-kelomp ok primitif, lalu beradaptasi dengan alam
lingkungannya. Ketika banjir
besar nabi Nuh selesai dan anak
keturunannya menyebar ke
seluruh dunia. Namun sekali lagi,
ini bukanlah kesimpulan yang diambil dari Al-Qur’an, kebenaran
teori ini mungkin akan bisa
diungkapkan kemudian setelah
makin banyaknya ditemukan
artefak dan peninggal kuno yang
akan membenarkan, ataupun mementahkannya. Al-Qur’an sendiri tidak
menjelaskan soal kurun waktu ini.
Kisah nabi Nuh dan beberapa
‘sinyal’ sejarahnya merupakan
kisah yang pertama dari umat
manusia yang diceritakan Al- Qur’an secara lengkap. Memang
terdapat 7 kelompok ayat yang
menceritakan tentang kisah nabi
Adam, QS [2:30-38, QS [7:11-30],
QS[15:28-43], QS[17:61- 65], QS
[18:50], QS[20:115-123], QS [38:71-85], namun sangat sedikit
informasi tentang bagaimana
kehidupan nabi Adam setelah
diturunkan kedunia. Pengisahan
tentang Adam dalam Al-Qur’an
terfokus kepada : (1) pembangkangan Iblis dan ikrarnya
untuk menjerumuskan manusia
serta (2) informasi tentang
penciptaan nabi Adam. Terdapat
juga ayat lain tentang kehidupan
manusia sebelum nabi Nuh, yaitu kisah tentang anak-anak nabi
Adam QS[5:27-31] namun itupun
tidak menginformasika n tentang lokasi ataupun penggambaran
lingkungan, tidak seperti
pengisahan nabi Nuh dan nabi-
nabi lainnya. Al-Qur’an
kelihatannya ‘membuka diri’
agar manusia melakukan penelitian sendiri tentang sejarah
peradaban sebelum jaman nabi
Nuh. Terdapat satu ‘sinyal’ lagi yang
diberikan Al-Qur’an tentang
masa antara nabi Adam dam nabi
Nuh ini, yaitu penyebutan adanya
seorang nabi bernama Idris : waudzkur fii alkitaabi idriisa
innahu kaana shiddiiqan
nabiyyaan warafa’naahu
makaanan ‘aliyyaan ulaa-ika
alladziina an’ama allaahu
‘alayhim mina alnnabiyyiina min dzurriyyati aadama wamimman
hamalnaa ma’a nuuhin wamin
dzurriyyati ibraahiima wa-israa-
iila
[19:56] Dan ceritakanlah (hai
Muhammad kepada mereka, kisah) Idris (yang tersebut) di
dalam Al Quraan. Sesungguhnya ia
adalah seorang yang sangat
membenarkan dan seorang nabi.
[19:57] Dan Kami telah
mengangkatnya ke martabat yang tinggi. [19:58] Mereka itu
adalah orang-orang yang telah
diberi ni’mat oleh Allah, yaitu
para nabi dari keturunan Adam,
dan dari orang-orang yang Kami
angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, wa-ismaa’iila wa-idriisa wadzaa
alkifli kullun mina alshshaabiriina
wa-adkhalnaahum fii rahmatinaa innahum mina alshshaalihiina
[21:85] Dan (ingatlah kisah) Ismail,
Idris dan Dzulkifli. Semua mereka
termasuk orang-orang yang
sabar. [21:86] Kami telah
memasukkan mereka kedalam rahmat Kami. Sesungguhnya
mereka termasuk orang-orang
yang saleh. Nabi Idris adalah nabi yang hidup
sebelum jaman nabi Nuh, cerita
alkitab mempengaruhi penafsiran
bahwa Idris adalah Enokh
(Kejadian 5). Sayyid Qutb
menafsirkannya dengan nama salah satu tokoh Mesir kuno,
yaitu Uzuris. Satu tokoh yang
sama penggambarannya dengan Enokh, yang naik kelangit dan
hidup disana, namun Sayyid Qutb
tidak memastikan hal ini. Cerita
Israilliyat ini kelihatannya
mempengaruhi sementara ahli
tafsir yang mengatakan bunyi QS 19:57 diartikan secara harfiah.
Sumber-sumber Islam sendiri tidak
banyak memberikan penjelasan
tentang nabi Idris ini, ada satu
hadist riwayat ath-Thabarani
melalui Ummu Salamah yang menyatakan nabi Idris berteman
dengan malaikat maut dan
memasuki neraka dan surga
ketika masih hidup. Namun perawi
hadist ini terdapat nama Ibrahim
Ibn Abdullah al-Mashishi, yang dikategorikan oleh para peneliti
hadist sebagai pembohong dan
pendusta. Sebenarnya kita bisa bertanya-
tanya : Apa maksud Al-Qur’an
yang menyatakan bahwa nabi
Idris adalah ‘seorang yang
sangat membenarkan’..? ? Ketika sahabat Rasulullah, Abu
Bakar dijuluki ‘siddiq’ – orang
yang membenarkan, objeknya
jelas yaitu Rasulullah sendiri, yaitu
Abu bakar adalah sahabat yang
selalu membenarkan apapun pernyataan yang dikeluarkan
Rasulullah, termasuk cerita nabi
tentang perjalanan Isra’Mi’raj-
nya , ketika banyak orang, bahkan umat Islam lain yang
meragukannya, Abu Bakar tanpa
‘pikir panjang’
membenarkannya. Mengapa Al- Qur’an memberikan penekanan
sifat ini kepada nabi Idris..?? apa
atau siapa yang telah dibenarkan
olehnya..?? Ini mungkin sinyal
yang diberikan Al-Qur’an untuk
mencari hubungan adanya cerita nabi Nuh dengan fakta arkeologis
tentang kelompok manusia yang
sudah menyebar ketika itu…
wallahualam

KISAH ASKHABUL KAHFI DAN ANJING

Dalam surat Al-Kahfi, Allah SWT menceritakan tiga kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah pertemuan nabi Musa as dan nabi Khaidir as serta kisah Dzulqarnain. Kisah Ashabul Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surat dimana terdapat tiga kisah tersebut. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) didalamnya.

Ashabul Kahfi adalah nama sekelompok orang beriman yang hidup pada masa Raja Diqyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya nabi Isa as. Mereka hidup ditengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang raja yang dzalim. Ketika sang raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang raja. Tapi Ashabul Kahfi menolak dan lari, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.

Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah SWT (Ibnu Katsir; Tafsir al-Quran al-'Adzim; jilid:3 ; hal.67-71).

Berikut adalah kisah Ashabul Kahfi (Penghuni Gua) yang ditafsir secara jelas jalan ceritanya.....
Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman 291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi:


"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdo'a: "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)"
(QS al-Kahfi:10)

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Di kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi."

"Silahkan bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu adalah bathil!"

Salman Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!"

"Ya baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan bukan jin!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"

jmw01
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali bin Abi Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."

"Tanyakanlah apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.

"Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."

Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu dibangunlah sebuah Istana."

Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.

Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
jmw01
Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.

Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua tempat sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.

Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah s.w.t.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala.

Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?"

"Teman-teman," sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."

Teman-temannya mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"

"Sudah lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan."

Aku lalu bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah?

Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu?

Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?

Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!"

"Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!"

"Kami setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.

Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.

Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya: "Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan keluar."

Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau susu?"

"Aku mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!"

"Ah…, susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama, kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang sebenarnya?"

"Ya," jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku akan segera kembali lagi kepada kalian."

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"

"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.

Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali:
"Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu pergi.
jmw01
Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"

Imam Ali menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.

Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!"

Setelah tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat itu."
jmw01
Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi."

Tamlikha kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!"

Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah."

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"

"Aphesus," sahut penjual roti itu.

"Siapakah nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti.

"Kalau yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!"

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"

Imam Ali menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!"

"Aku tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini ku dapat tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!"

Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"

Tamlikha lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?"
"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."

Tamlikha menjawab: "Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?"

"Ya. Benar," sahut Tamlikha.

"Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.

"Ya, ada," jawab Tamlikha.

"Coba sebutkan siapa namanya," perintah raja.

Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"

"Ya, tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!"

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah rumahku!"

Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!"

Orang tua itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"

Orang tua itu lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"

Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."

Kemudian diteruskannya dengan suara haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!"

Peristiwa yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?"
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!"

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!"

Tamlikha menukas: "Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?"
"Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja," jawab mereka.

"Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"

Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?"

"Lantas apa yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya.

"Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab mereka.

Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa: "Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!"

Allah s.w.t. mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang atau jalan masuk lainnya ke dalam gua.

Pada saat itu dua orang bangsawan tadi menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah tempat ibadah di pintu gua itu."

Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu."

Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman:

Dan begitulah Kami menyerempakkan mereka, supaya mereka mengetahui bahawa janji Allah adalah benar, dan bahawa Saat itu tidak ada keraguan padanya. Apabila mereka berbalahan antara mereka dalam urusan mereka, maka mereka berkata, "Binalah di atas mereka satu bangunan; Pemelihara mereka sangat mengetahui mengenai mereka." Berkata orang-orang yang menguasai atas urusan mereka, "Kami akan membina di atas mereka sebuah masjid."

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat ini!"

Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.

Sumber : Usrah Pemuda Bakri

HADIAH DIJADIKAN BUNGKUS UNTUK PRAKTEK SUAP MENYUAP

Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah rahimahullah, dalam kitabnya Ar Ruh, Membedakan antara suap dan hadiah, letaknya pada niat sang pemberi.
Suatu pemberian bisa dikatakan suap (risywah), apabila ditujukan sebagai wasilah (perantara) untuk membenarkan yang salah, atau mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Inilah suap, yang masuk dalam laknat Rasulullah shallallahualaihi wasallam yang disebut dalam hadis.

Adapun HADIAH adalah, suatu pemberian yang diniatkan untuk memupuk rasa kasih sayang, mempererat tali persaudaraan, atau berbuat baik kepada sesama. Tanpa ada tujuan lain selain tujuan-tujuan tersebut. (Ar Ruh, hal. 240, dalam Nadhrotun Naim 10/4546)

Jadi perbedaannya jelas sekali, yaitu ada pada niat pemberi.
Bagi penerima, tak nampak memang. Namun bagi seorang mukmin yang hendak memberi, dia akan selalu melihat niatnya sebelum melangkah; karena dorongan apa ia memberi? Bila terselip niatan untuk menyogok, supaya bisa merebut yang bukan haknya atau memuluskan keserakahannya, maka iapun harus segera mengurungkan niatnya. Karena ia ingat sebuah hadis, yang menjelaskan ancaman laknat atas orang-orang yang menyuap dan yang menerima suap.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, dia mengatakan,
Rasulullah shallallahualaihi wasallam melaknat penyuap dan orang yang menerima suap (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al-Albani).

Ibnul Qoyyim Al Jauziyyah rahimahullah, dalam kitabnya Ar Ruh, Membedakan antara suap dan hadiah, letaknya pada niat sang pemberi.
Suatu pemberian bisa dikatakan suap (risywah), apabila ditujukan sebagai wasilah (perantara) untuk membenarkan yang salah, atau mendapatkan sesuatu yang bukan haknya. Inilah suap, yang masuk dalam laknat Rasulullah shallallahualaihi wasallam yang disebut dalam hadis.

Adapun HADIAH adalah, suatu pemberian yang diniatkan untuk memupuk rasa kasih sayang, mempererat tali persaudaraan, atau berbuat baik kepada sesama. Tanpa ada tujuan lain selain tujuan-tujuan tersebut. (Ar Ruh, hal. 240, dalam Nadhrotun Naim 10/4546)

Jadi perbedaannya jelas sekali, yaitu ada pada niat pemberi.
Bagi penerima, tak nampak memang. Namun bagi seorang mukmin yang hendak memberi, dia akan selalu melihat niatnya sebelum melangkah; karena dorongan apa ia memberi? Bila terselip niatan untuk menyogok, supaya bisa merebut yang bukan haknya atau memuluskan keserakahannya, maka iapun harus segera mengurungkan niatnya. Karena ia ingat sebuah hadis, yang menjelaskan ancaman laknat atas orang-orang yang menyuap dan yang menerima suap.

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahuanhu, dia mengatakan,
Rasulullah shallallahualaihi wasallam melaknat penyuap dan orang yang menerima suap (HR Abu Daud, dinilai shahih oleh al-Albani).

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More